dari sini |
Assalamualaikum.
Judul postingannya kayak judul lagu, ya. Ga pa-pa deh. Saya sedang tidak punya resep untuk dibagi atau apapun yang biasa saya posting. Kali ini saya hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg untuk seseorang yang saya hormati, saya muliakan tapi kemudian saya anggap sebagai seseorang yang masih perlu belajar, seperti halnya saya. Kali ini, saya anggap kita adalah sama.
Sudah cukup lama saya mengenalnya. Dia adalah guru buat saya karena memang ketinggian ilmu yang dimilikinya dan kebijaksanaan yang membingkainya. Ada pula kesabaran yang menghiasinya. Segala kelebihan dan kebaikan yang bisa menempel dalam pribadi seorang muslimah, bisa dibilang ada padanya.
Saya bercerita padanya hampir tentang segalanya, terutama hal-hal yang memenuhi kepala saya. Saya berbagi semua yang saya tahu dengannya. Saya berdiskusi, menerima dan mencerna semua nasehatnya dalam rangka menjadi pribadi yang lebih baik.
Saya abaikan segala perasaan tidak nyaman yang muncul jika ia terlalu bossy, atau terlalu menuntut saya. Saya tak protes jika ada hal yang dia sampaikan kurang akurat. Bukan urusan saya. Saya tak mencelanya. Saya tak berkata apapun tentangnya.
Saya tempatkan dia bahkan di tempat yang lebih tinggi dari suami saya. Saya lebih utamakan membalas pesannya di media sosial daripada menghadap suami saya. (You should really know this. That is how important you are to me, once!) Hingga suami saya bertanya, "apa yang dia mau dari kamu?"
Saya tak rela kehilangan masa-masa berguru dan menyerap ilmu darinya. Bahkan jauh-jauh pun saya usahakan supaya tetap bisa menghadiri majelis ilmu bersamanya.
Semua itu untuk dia.
Tentu saja, dalam perjalanannya, saya telah banyak berlaku kurang ajar sebagai murid. Telah banyak pula saya berbuat kesalahan. Semoga dia telah memaafkannya.
Sampai hari itu, satu demi satu kekecewaan tersimpan rapi. Satu demi satu bom waktu meledak dan menghancurkan segalanya.
Saya memang seorang murid yang tidak tahu apa-apa soal agama. Dia lebih tahu, lebih pandai. Lebih solehah. Tapi saya, manusia biasa yang bisa kehabisan kesabaran dan empati.
Badai itu datang memporak-porandakan segala yang sudah lama terpelihara. Badai itu pula yang memperjelas segalanya. Mungkin di matanya saya bukanlah siapa-siapa. Mungkin saya hanyalah seorang fakir ilmu yang tak penting pendapatnya.
Sulitkah baginya menerima pendapat dari murid?
Sulitkah baginya menerima kekurangan diri dan mengakui kelebihan muridnya?
Sulitkah untuk menghargai keahlian orang lain?
Sulitkah untuk membiarkan orang lain dengan keinginan dan pikirannya sendiri?
Sampai disini, saya memisahkan diri darinya.
Jalan kami sudah berbeda. Seperti dulu saya memilih jalan saya. Bukan untuk menunjukkan saya yang benar, dia yang salah. Bukan untuk menepuk dada dan merendahkan sesama. Bukan untuk menjadi "bawahan" orang lain. Saya hanya ingin ketenangan dan kepuasan menikmati jerih payah usaha sendiri tanpa perlu direndahkan dan diabaikan.
Kemudian saya ingin belajar menerima bahwa terkadang kita bisa tak sepakat dengan orang lain; bahwa kita tak bisa harapkan orang lain mengerti perasaan kita; bahwa mungkin ada orang yang selalu merasa benar apapun yang terjadi.
Jadi, selamat memulai hidup baru untuk kita berdua. Semoga Alloh selalu melindungi dan meridhoi segala usaha kita meraih kebaikan dan mencapai kebenaran yang hakiki.
No comments:
Post a Comment