Monday, October 23, 2023

Menolak Lupa: Rumah Penampungan

Bentuk rumahnya bukan kek gini sih. 
Tapi ya udah lah.. Kira-kira aja 🤭

Assalamualaikum. 

Ada satu tempat yang sampai hari ini masih ku ingat dan terus teringat karena ga pernah terpikir dan terbayang bahwa aku akan sempat berada di tempat itu. 

Jadi, setelah aku dijemput polisi dan di-BAP, aku ditanya, mau ga tinggal di tempat perlindungan. Waktu itu aku ga punya banyak pilihan. Balik ke rumah udah pasti aku jadi bulan-bulanan si anu. Bisa habis aku disiksanya. Siksaan ini bukan cuma sekedar fisik, tapi juga seksual. Ga usah aku ceritain lah ya. Pokonya, aku cuma pesan supaya aku ga tidur di rumah lagi malam itu. Ngeri, cuy. 

Sebelum masuk ke rumah, aku sempet visum lagi. Ah, pengalaman visumku di Turki tu kurang menyenangkan lah. Tapi apa boleh buat. Hampir tengah malam ketika aku tiba di rumah penampungan. Rumahnya seperti rumah dengan gaya lama di Turki pada umumnya. Ada pintu gerbang dari besi yang dicat putih. Ada pohon walnut di sisi kiri rumah. Ini pohon yang sering aku lihat kalo lagi piket mencuci piring setelah makan. 

Pikiranku waktu itu, rumah itu aku kutempati sendiri dan aku bisa istirahat sendiri sambil menunggu waktu pulang. Ternyata bukan begitu, Malih. 

Aku diantar oleh 2 petugas polisi yang baik-baik. Sampai di rumah, disambut oleh seorang petugas yang malam itu sudah pakai pakaian tidur dan ditemani penjaga yang juga perempuan. Jadi serumah itu semua stafnya perempuan, kecuali supir mobil operasional mereka. 

Setelah didata, aku masuk dan tinggal disitu bersama perempuan-perempuan lain yang juga adalah korban KDRT. Malam itu, kami mandi dan tidur di kamar yang kosong. Ada 4 tempat tidur single di dalam ruangan berjendela dan berteralis. Ada beberapa rumah di sekeliling rumah itu. Lampu-lampu sudah dimatikan jadi suasananya memang sunyi senyap walau ga horor juga sih. Biasa aja. Akhirnya aku tidur di tempat lain malam itu dan terbebas dari rasa takut yang menderaku beberapa hari belakangan. 

Pagi hari, kami sarapan. Sarapan yang menyedihkan. Kondisi akupun menyedihkan buat penghuni senior. Mereka memandangku dengan iba. Aku jadi makin sedih diperlakukan seperti itu. Tapi lama-lama mereka biasa saja. 

Jadi, kami boleh tinggal di situ sepanjang kami mau. Kami diberi makan 3x sehari, diberi pakaian, alat mandi dan semua printilan hidup yang biasa kami punya. Masya Allah deh. Makan juga ga kekurangan. Dijamin kenyang. Tidak kelaparan. Tidak kepanasan. Tidak kehujanan. Salut sama pemerintah Turki. Mereka punya dana untuk warga yang amat sangat membutuhkan. 

Selama tinggal di situ, kami harus mengurus diri sendiri, membersihkan rumah dan melakukan kebiasaan di rumah lainnya. Aku paling suka bagian cuci piring karena bisa bebas dari pandangan-pandangan penghuni lain tapi penghuni senior kadang memberiku tugas lain karena biasanya yang cuci piring itu adalah anak baru yang baru tiba di rumah. Saat cuci piring itu aku bisa melihat pohon walnut dan taman di dekat rumah. Ada tiang bendera di sana dan bendera Turki selalu berkibar. Aku rasa ada kantor juga di situ. Aku tidak terlalu hapal tempat itu walau aku rasanya bisa mengingat jika saat ini aku datang dan melihatnya. Setiap kali aku selalu bertanya kapan bisa pulang. Walau hanya 10 hari tinggal di situ, rasanya cukup menyiksa. 

Kegiatanku selama di rumah itu adalah menangis, baca Quran, sholat, menjalani hidup dengan penuh kepasrahan, menikmati suara-suara dari lingkungan sekitar (ada kokok ayam yang membuatku makin rindu tanah air), dan jalan mengelilingi karpet yang ada di dapur atau ruang tengah. Kepalaku penuh, perutku mulas, jadi satu-satunya cara adalah bergerak. Tidak banyak yang aku pikirkan tapi bergerak membuat aku bisa fokus tanpa terlalu banyak overthinking walau gagal juga. Aku bisa tiba-tiba menangis dan orang selantai jadi heboh karenanya. 

Aku dapat teman sekamar di hari kedua. Dia adalah perempuan Turki yang cukup berada, punya 2 anak perempuan. Sebenernya 3 tapi si anak laki-laki tidak terbawa ketika dia kabur dari rumah. Suaminya menderita schizophrenia dan dia memukul perempuan itu hingga lengannya berwarna biru keunguan. Pemandangan yang cukup membuat kita bertanya-tanya. 

Selain dia, ada perempuan lain dengan empat anaknya. Suaminya sudah "menyiksa" bukan cuma istri tapi juga anak-anaknya. Jadi mereka pun keluar dari rumah. Anak-anaknya lucu dan riang jadi aku cukup merasa terhibur dengan kehadiran mereka. 

Tapi tetap saja, tinggal di situ hanya menambah beban psikis. Anak-anak bosan tidak bisa main. Aku tidak bawa mainan satupun dan bajupun hanya yang kami pakai saja. Jadi waktu itu aku kembali ke Jakarta hanya dengan pakaian di badan dan dua tas berisi dokumen pribadi. 

Aku menelepon KBRI setiap hari supaya bisa cepat keluar dari situ. Tidak masuk akal menghabiskan waktu lama di tempat asing sementara ada KBRI yang lebih berwenang mengurus kami. Dengan keterbatasan bahasa dan lain-lain, aku akhirnya meninggalkan rumah setelah seperti berabad-abad berada di situ. 

Petugas dapur yang hari itu bertugas berpesan supaya aku tidak kembali ke Turki karena pria Turki ga ada otaknya. Haha. Harus beli juga di Serumpun gitu? 

Aku berulang kali meminta orang-orang mendoakan aku supaya aku bisa selamat sampai Jakarta. Teman sekamarku memberiku uang karena dia pikir aku tak punya uang. Baik sekali dia. Aku berharap dia bisa hidup dengan bahagia. 

Hari aku pulang, aku bebas tugas. Aku hanya di suruh siap-siap berangkat. Ada petugas dan supir yang akan mengantarku ke bandara. Walau dia tidak terlalu suka tapi aku bersyukur bisa keluar dari rumah dan sudah diperlakukan dengan sangat baik. Aku sempat terdampar di bandara karena pesawat kami delay. 

Akhirnya aku terbang ke Ankara, menuju KBRI sebelum akhirnya aku pulang ke Jakarta. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...