Friday, September 16, 2016

Pelajaran Menjadi Orang Tua di Hari Iduladha


Assalamualaikum.


Iduladha baru saja usai. Di Antep dan Turki umumnya, iduladha dirayakan lebih meriiah daripada idulfitri. Libur pun lebih lama. Wajar sih karena di Turki, hari libur nasional tidak banyak. Tidak sebanyak di Indonesia. Memang banyak hari nasional atau keagamaan tapi biasanya belum tentu libur juga.

Eniweh.
Iduladha saya kali ini berlangsung jauh lebih sederhana. Pas suami juga kerja. Karena suami bukan orang kerja kantoran, kerjanya pun ga kenal waktu. Bisa tetap kerja di musim liburan dan bisa liburan saat orang kerja. Makanya saya pun tak menyiapkan sesuatu yang istimewa.

Yang istimewa justru adalah pelajaran yang saya dapat di hari iduladha.

Ceritanya si anak laki udah heboh pengen liat acara potong kambing. Biasanya kalau memang berniat kurban, kami akan potong sendiri di belakang apartemen bersama para tetangga yang juga berkurban. Tahun ini kami tak berkurban. Hanya kakak ipar yang sudah ada rencana berkurban.

Pagi-pagi, si anak laki pergi solat eid sama bapaknya. Saya di rumah sama anak perempuan, makan lontong kari, nonton yutub dan tidur lagi. Enaknya jadi perempuan. Si anak laki dititip di rumah budenya (kakak ipar saya) setelah solat eid, untuk liat si kambing yang hendak dipotong. Bapaknya lantas pergi kerja.

Sorenya, paksu pulang cepat karena dia yang akan memotong si kurban di rumah kakak ipar. Saya, paksu dan anak perempuan kami pergilah ke rumah kakak ipar yang masih berada di daerah yang sama.

Sampai di sana, si anak laki udah ganti kostum, pakai kaos biasa milik sepupunya. Dan saya lihat dagunya lecet. Katanya jatuh dari sepeda. Hadeeeh.

Saya tak banyak komentar karena toh sudah terjadi.

Ternyata tak hanya itu, gigi depannya pun hilang, mungkin akibat benturan. Bibir atas bengkak. Tampang si anak laki jadi mirip Suneo di serial Doraemon. Saya masih tak banyak komentar walau hati tak karu-karuan. Bagaimana ceritanya itu anak bisa jatuh dari sepeda? Setau saya, dia belum bisa naik sepeda.

Neneknya ga tau gimana kejadiannya. Kakak ipar pun demikian. Apalagi dia punya bayi. Boro-boro perhatian sama anak orang. Sepupunya yang biasa ngomporin untuk main juga ga paham. Saya jadi tak habis pikir. Mereka ini sebenernya ngapain aja di rumah?

Suami saya pun marah. Walau hari itu dia sibuk dengan hewan kurban, malamnya dia protes keras pada ibunya. Bagaimana bisa kamu diberi amanah menjaga anak lalu anaknya jatuh dari sepeda dan luka dan kamu ga tau? İbu mertua saya membela diri dengan berkata "Namanya juga kecelakaan."

Okelah. Kecelakaan. Toh sudah terjadi.

Tapi saya merasa amat menyesal.
Biasanya saya tak pernah mengijinkan anak saya main di rumah orang lain, siapapun itu dengan berbagai alasan keparnoan saya. Dan biasanya orang-orang itu (baca: suami dan keluarganya) ga peduli dengan keparnoan saya. Alhamdulillah, hari itu Alloh tunjukkan bahwa parno pun ada gunanya.

Saya pun curhat pada si chingu dan dia menambahkan bahwa orang sini tak pandai mengasuh anak. Dia pun pernah mengalaminya. Soal begini sebenernya saya pun sudah melihat sendiri. Anak-anak bisa main di luar seharian hingga maghrib tanpa ada satu pun suara ibunya memanggil mereka pulang. Main dari yang biasa hingga yang luar biasa. Dari main bola hingga manjat pohon dan memotongnya hingga saya harus protes sama paksu (sebagai pak RT) karena kuatir pohon rebah dan anak-anak itu terluka. Tapi tak ada satu pun orang dewasa yang melarang.

Dalam berlaku pun, bisa dibilang anak-anak itu seperti (maaf) hewan. Pintu kaca bisa pecah bahkan lepas dari engselnya, entah bagaimana cara mereka memperlakukan pintu itu. Pohon jeruk yang saya pindah ke halaman depan, bisa kering dalam waktu seminggu, tercabut dari akarnya. Entah anak siapa yang melakukannya.

Setelah hari itu, cukup sudah (kayak Glenn Fredly).
Si anak laki langsung saya ultimatum, ga ada lagi cerita main di rumah si ABCDE. Main di luar atau di rumah orang hanya bersama baba atau ibu. Saya pun tak berminat mengirimkan mereka ke sekolah cepat-cepat apalagi dengan cara menitipkannya di si A atau si B. 

Saya dan suami merasa kecewa dan marah ketika menitipkan anak kepada orang lain lalu terjadi sesuatu yang membuat si anak luka. Saya lalu terhenyak, kita orang tua bisa seperti itu marahnya, bagaimana dengan Alloh, sang pemilik sejati yang menitipkan anak-anak kepada kita, yang kemudian disebut orang tua, lalu kita berbuat seenaknya dalam hal mengasuh dan menjaga anak-anak titipan Alloh swt? 

Setelah hari itu, kadar keparnoan saya naik satu tingkat. Buat saya, bukan anak tidak boleh main di luar atau bertemu orang lain. Bukan soal mengurung mereka di rumah. Bukan. Masalah terbesar adalah saya tidak percaya pada orang lain walau mereka keluarga sendiri. Apalagi di jaman yang makin ga karu-karuan ini. Selama hayat dikandung badan, sebisa mungkin, insya Alloh, saya akan memilih untuk menemani anak-anak dan mengurus sendiri semua keperluannya daripada saya menyesal kemudian. Percayalah, takkan ada obat yang bisa menghilangkan rasa sesal dari dalam hati kita.

Semoga tulisan ini bisa menambah kesadaran dan kesabaran kita menjadi orang tua yang amanah dalam menjaga, mengasuh serta mendidik anak-anak kita. Aaminn.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...