Sunday, September 8, 2013

Ramadhan, Dirayakan atau Ditunaikan?

Saya sedang berusaha menulis ulang sebuah artikel menarik yang saya temukan di The Jakarta Post tentang Ramadhan: By the way ... Are we celebrating or observing Ramadhan? Walau Ramadhan telah usai, tiada salahnya jika kita melihat kembali apa yang sudah terjadi di Ramadhan kita supaya kita dapat melakukan perbaikan di Ramadhan berikutnya, Insya Alloh.



Gambar dari Ceritamu

Artikel ini benar-benar membuat saya berpikir (silakan yang mau repot mikirin juga, *gelar tiker). Menurut penulis, saat Ramadhan, saat mayoritas umat Islam berpuasa, menahan diri dari lapar dan haus dan sebagainya, justru adalah saat dimana makanan berlimpah di atas meja. Bener apa bener? Saya mencoba
mengingat kembali apa yang ada di meja makan kami di Jakarta saat berbuka puasa. Subhanalloh, itu meja penuh! Kami seperti sedang merayakan sesuatu.

Bukan cuma di rumah. Di kantor saya dulu yang jam kerjanya ajaib sehingga membuat saya selalu berbuka bersama teman-teman sekantor, makanan pun berlimpah ruah. Pihak manajemen mengupayakan tersedianya menu untuk berbuka dengan cara patungan setiap hari. Alhamdulillah, kami ga pernah kekurangan.

Itu belum termasuk acara buka puasa bersama yang biasa dilakukan orang-orang kantor atau keluarga di akhir pekan. Jika Anda termasuk yang suka melakukan kebiasaan ini, Anda pasti merasakan sulitnya mencari tempat berbuka puasa  karena semua tempat makan, warung, resto, pasti penuh, kecuali jika kita memesan tempat terlebih dulu. 

Ramadhan harusnya adalah bulan dimana kita membatasi asupan makanan kita karena toh kita ga akan sanggup makan dari saat bedug magrib bertalu sampai saat menjelang tidur malam. Jika asupan makanan terbatas, logikanya konsumsi atau belanja makanan pun terbatas. Tapi nyatanya Ramadhan adalah bulan dengan tingkat inflasi tertinggi. Bukan harusnya tingkat inflasi turun karena konsumsi turun karena kita berpuasa? Ternyata tidak.

Padahal Ramadhan menurut ustad Sukmahadi di Kajian Ramadhan LKSMÄ°T adalah bulan yang insya Alloh mengajari para pelaku puasa kehidupan yang sederhana dan tidak berlebihan sehingga insya Alloh keseharian kita pun menjadi sederhana dan tidak berlebihan. Lalu, jika kenyataannya demikian, apakah Ramadhan gagal menjadikan kita pribadi-pribadi yang sederhana? Lalu dimana puasa kita?

Penulis artikel tersebut di atas malah menyebutkan, apa tidak mungkin pihak yang berwenang, dalam hal ini Menteri Agama atau pemimpin ormas Islam membantu meluruskan keadaan ini? Apa perlu juga MUI mengeluarkan fatwa supaya umat tidak berlebih-lebihan saat Ramadhan? Paling tidak, tunggulah sampai Idul Fitri tiba, save the best for last, gitu? Bukankah Idul Fitri adalah hari besar Islam sehingga umat Islam merayakannya dengan gembira setelah menunaikan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan?

Bukankah seharusnya di bulan Ramadhan kita memperbanyak sedekah dengan cara berbagi sedikit rejeki kita dengan orang-orang yang lebih membutuhkan sehingga kebiasaan ini terbawa hingga sehabis Ramadhan?

Bukankah seharusnya di bulan Ramadhan kita menahan lapar dan haus dan juga menahan diri dari segala yang merusak puasa kita selama sebulan penuh? Apakah waktu berbuka adalah kemudian adalah waktu merayakan kebebasan sehingga kita boleh menyajikan dan menikmati aneka makanan?

Maka tidak salah jika Ramadhan usai, bukan hanya inflasi yang membesar; lingkar pinggang pun membesar; berat badan pun bertambah. Subhanalloh.

Apa yang terjadi dengan umat? Ada apa dengan Ramadhan kita?
Apakah Ramadhan kita sudah dikapitalisasi?
Apakah kita menjadi bagian dari kapitalisasi tersebut hingga melupakan esensi Ramadhan?

Bukankah Alloh swt telah berfirman:
"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

“Dan janganlah kamu berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-An’am: 141)

Dan nabi Muhammad saw pun bersabda:
“Tidak ada wadah yang dipenuhi anak Adam yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah anak Adam mengkonsumsi beberapa suap makanan untuk menguatkan tulang rusuknya. Kalau memang tidak  ada jalan lain (memakan lebih banyak), maka berikan sepertiga untuk (tempat) makanan, sepertiga untuk (tempat) minuman dan sepertiga untuk (tempat) nafasnya." (HR. Tirmizi, no. 2380, Ibnu Majah, no. 3349, dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab shahih Tirmizi, no. 1939)

Semoga jika umur kita sampai dan jika kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan berikutnya, kita dapat lebih bijaksana menyikapi kebiasaan kita dan lebih seksama lagi menjalankan ibadah Ramadhan kita. Insya Alloh. Wallahu'alam bishowab.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...