Dari sini |
Pendidikan ternyata lebih menitikberatkan masalah isi (content) dibanding masalah perlu (does it matter?). Ambil saja contohnya, saya dulu pernah belajar menulis halus yang biasa dibilang "laten" (cursive) alias tulisan keriting-keriting kayak mie. Beberapa murid saya di tempat kursus dulu juga begitu. Dari SD, mereka dipaksa menulis laten membuat mata saya bekerja ekstra membaca tulisan mereka saat koreksi esai. Apakah perlu? Ternyata sampai sudah setua ini pun, saya belum juga menemukan apa perlunya belajar menulis laten itu.
Apalagi aktifitas yang dilakukan murid-murid di sekolah adalah aktifitas yang bisa dilakukan sendiri dan selesai dalam waktu singkat. Saya masih ingat jelas saat guru saya di SMA dulu meminta sekertaris kelas untuk menulis di papan tulis dan murid-murid lain menyalin. Sistem CBSA, Catat Buku Sampai Abis, hehe.
Masalahnya, sekolah menjadikan nilai akademis sebagai tujuan. Lihat saja UN yang membuat para orang tua seantero nusantara kalang kabut takut anaknya tidak bisa melalui UN. Padahal esensi pendidikan sebenarnya adalah bukan lagi masalah akademis.
Ketika saya lulus dari universitas, selembar ijasah pasti tidak banyak bercerita siapa saya sebenarnya. Dan ternyata, saat saya melamar menjadi tenaga pengajar di sebuah lembaga kursus, saya diharuskan mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Itupun belum tentu saya dinyatakan memenuhi kriteria yang sudah dipasang si lembaga kursus. Ada kemungkinan saya harus mengulang pelatihan. Lah, buat apa saya kuliah empat tahun?
Keberhasilan akademis seseorang akan berguna jika orang tersebut memang memilih menjadi seorang akademisi. Tapi keberhasilan itu tidak akan menjamin ia akan berhasil juga dalam mencari jodoh atau menikah atau mengasuh anak dan banyak hal lain yang lebih bermakna dan perlu. Makanya kita mengenal ungkapan-ungkapan seperti "buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh larinya ke dapur juga?".
Dari sini |
Tapi, nyatanya?
Masih ada juga pengangguran terdidik. Mereka terpelajar. Sukses secara akademis tapi sulit mencari pekerjaan. Apa yang terjadi dengan sistem pendidikan kita?
Sistem pendidikan kita masih mementingkan pencapaian akademis daripada membebaskan seorang manusia mengasah rasa ingin tahunya. Anak-anak kita di lembaga-lembaga pendidikan masih harus disuruh-suruh mengerjakan PR, seperti robot. Padahal untuk hidup di dunia nyata, bukan hanya PR yang harus dikerjakan. Ada banyak hal seperti ketrampilan berdiplomasi, ketrampilan antar personal dan lain sebagainya yang semestinya juga dikuasai oleh anak-anak yang sedang menempuh pendidikan.
Yang kita perlukan adalah sebuah usaha untuk membiarkan anak-anak dengan rasa ingin tahunya, mengeksplorasi dunianya, menjadi kreatif dan bertanggung jawab dengan apa yang dipelajarinya. Mereka harus tahu apa itu kegagalan dan cara bangkit dari kegagalan karena hidup sejatinya adalah rangkaian keberhasilan dan keberhasilan yang tertunda (baca: kegagalan).
Jadi, silakan para pembaca menimbang sendiri, model pendidikan seperti apa yang sebaiknya diberikan kepada anak-anak kita? Insya Alloh kita semua diberi wewenang untuk memilih yang terbaik. Semoga bermanfaat.
Tulisan aslinya dapat dibaca disini.
No comments:
Post a Comment