Assalamualaikum.
Surat al-Maidah ayat 51 menjadi sangat populer belakangan ini. Kepopulerannya semoga membuat kita penasaran dan mau mengkaji isinya. Nah, supaya jelas, di bawah ini adalah kultwit dari pesantren sidogiri soal tafsir ayattersebut. Semoga bermanfaat.
#NgajiTafsir Surah al-Maidah 51. Silahkan dibaca dengan seksama ya twep.
Dalam literatur klasik, ada tiga pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini. Sbagian mengatakan ayat ini turun dalam kasus Ubadah bin Shamit
yang tidak mau beraliansi dengan orang Yahudi dan Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong munafik yang bersikeras beraliansi dengan Yahudi
Ia beralasan takut terjadi hal-hal negatif yang menimpa umat Islam di kemudian hari.
Berbeda dengan Imam as-Suddi yang mengatakan bahwa ayat ini turun ketika komunitas munafik terpecah belah pada saat perang Uhud,
ada yang ingin berlindung di bawah payung Yahudi, ada juga yang menjilat kepada Nasrani.
Lain lagi dengan Ikrimah, ia mengatakan ayat ini turun dlm peristiwa Abu Lubabah bin Abdul Mudzir yang diutus Nabi kepada Klan Quraidzah.
Dari tiga versi tersebut, sejatinya bermuara pada satu titik yakni tidak bolehnya seorang Muslim menjadikan non Muslim sebagai auliya’.
Larangan ini tidak hanya berlaku ketika ayat tersebut diturunkan (dalam konteks peperangan) sebagaimana pandangan sebagian kecil kalangan,
tapi juga menyentuh semua kondisi di mananpun dan kapanpun, baik itu dalam situasi perang maupun kondisi damai.
Hal ini sesuai dengan kaidah ushul: العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
“yang dimaksud adalah universalitas lafalnya bukan spesifikasi sebab turunnya”, demikian menurut Sayid ath-Thanthawi dalam al-Wasith-nya.
Selain itu pula, tiga varian pendapat perihal turunnya ayat tersebut yang menurut sebagian orang dalam konteks “penghiatan”
yang kemudian dijadikan kausa (illat) tidak bolehnya ber-muwalah kalau berkhianat kepada umat Islam.
Mafhumnya kalau tidak berkhianat maka boleh, merupakan konklusi yang terlalu terburu-buru.
Sebab, jika illatnya adalah “khianat” maka segala bentuk relasi antara muslim dan non muslim mutlak boleh ketika tidak berkhianat,
dan tidak perlu ada tiga klasifikasi yang telah diuraikan oleh para ulama sebagaimana yang sudah maklum,
yaitu 1) Membenarkan akidah mereka, ini jelas dilarang, dan pelakunya juga kafir, sekalipun dia tidak berkhianat pada orang Islam.
2) bergaul dengan mereka secara baik (al-mu’asyarah al-jamilah), ini hukumnya sah-sah saja.
3) condong kepada mereka (ar-rukun ilaihim) dan membela kepentingan mereka (nushrah).
Tindakan yang ketiga ini juga dikecam oleh syariat kendati ia tidak berkhianat pada orang Islam dan tidak sampai pada taraf kufur.
Kemudian, terkait makna “auliya” dalam ayat di atas tidak melulu bermakna teman karib atau aliansi,
tapi juga bisa bermakna yang menangani sebuah urusan dengan kata lain pemimpin.
Sehubungan dengan ini, Raghib al-Ishfahani mengurai makna kata auliya’ dalam bukunya Mu’jam Mufradat al-Fadzil-Quran hal. 606.
Beliau mengatakan, kata auliya’ yang merupakan bentuk plural kata wali bisa memiliki varian arti,
jika dibaca wilayah (kasrah) bermakna memberikan pembelaan (nushrah), jika dibaca walayah (fathah) berarti menyerahkan tampuk kekuasaan.
Bahkan menurut satu pendapat, kata wilayah dan walayah sama saja, sprt kata dalalah dan dilalah, yakni memiliki arti menyerahkan kekuasaan.
Dengan demikian, tidak ada salahnya ulama yang mengartikan kata “auliya” dengan “pemimpin”.
Toh pada kenyataannya, sebagian ulama juga mengharamkan mengangkat pemimpin non muslim berdasarkan ayat yang senada dengan ayat 51 ini,
yaitu an-Nisa' 144, demikian keterangan dalam Tafsir Ayatil-Ahkam (I/181).
Di samping itu, fakta sejarah menorehkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab memerintahkan Abu Musa al-Asy’ari dan Khalid bin Walid
untuk memecat petugas pencatat pengeluaran dan pemasukan (kharaj) setelah diketahui status agama petugas tersebut,
berdasarkan ayat 51 itu sprt termaktub dlm bebrpa kitab tafsir dan yang lain, semisal Sirajul-Muluk dan Ma’alimul-Qurbah fi Thalabil-Hisbah.
Selain itu, sudah ada konsensus ulama terkait keharaman mengangkat pemimpin non Muslim sbgmn ditegaskan Qadhi Iyadh dlm Syarah Shahih Muslim
Baik menjadi Bupati atau wakilnya, Gubernur atau wakilnya, dan Presiden atau wakilnya.
Ada juga yang berpendapat boleh, tapi dlm keadaan darurat, yakni tidak ada lagi pemimpin muslim atau ada tapi jelas akan berkhianat.
Namun demikian, harus ada kontrol penuh terhadapnya dan membendungnya ketika ia mengusik umat Islam.
Dan persoalan bolehnya mengangkat wazir tanfidz dari kalangan non muslim yang dibuat dalil bolehnya mengangkat pemimpin non muslim
oleh sebagian orang, insyaallah akan dibahas pada Ngaji Fikih. Demikian #NgajiTafsir kali ini, semoga bermanfaat.
Dari chirpstory
Dalam literatur klasik, ada tiga pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini. Sbagian mengatakan ayat ini turun dalam kasus Ubadah bin Shamit
yang tidak mau beraliansi dengan orang Yahudi dan Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong munafik yang bersikeras beraliansi dengan Yahudi
Ia beralasan takut terjadi hal-hal negatif yang menimpa umat Islam di kemudian hari.
Berbeda dengan Imam as-Suddi yang mengatakan bahwa ayat ini turun ketika komunitas munafik terpecah belah pada saat perang Uhud,
ada yang ingin berlindung di bawah payung Yahudi, ada juga yang menjilat kepada Nasrani.
Lain lagi dengan Ikrimah, ia mengatakan ayat ini turun dlm peristiwa Abu Lubabah bin Abdul Mudzir yang diutus Nabi kepada Klan Quraidzah.
Dari tiga versi tersebut, sejatinya bermuara pada satu titik yakni tidak bolehnya seorang Muslim menjadikan non Muslim sebagai auliya’.
Larangan ini tidak hanya berlaku ketika ayat tersebut diturunkan (dalam konteks peperangan) sebagaimana pandangan sebagian kecil kalangan,
tapi juga menyentuh semua kondisi di mananpun dan kapanpun, baik itu dalam situasi perang maupun kondisi damai.
Hal ini sesuai dengan kaidah ushul: العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
“yang dimaksud adalah universalitas lafalnya bukan spesifikasi sebab turunnya”, demikian menurut Sayid ath-Thanthawi dalam al-Wasith-nya.
Selain itu pula, tiga varian pendapat perihal turunnya ayat tersebut yang menurut sebagian orang dalam konteks “penghiatan”
yang kemudian dijadikan kausa (illat) tidak bolehnya ber-muwalah kalau berkhianat kepada umat Islam.
Mafhumnya kalau tidak berkhianat maka boleh, merupakan konklusi yang terlalu terburu-buru.
Sebab, jika illatnya adalah “khianat” maka segala bentuk relasi antara muslim dan non muslim mutlak boleh ketika tidak berkhianat,
dan tidak perlu ada tiga klasifikasi yang telah diuraikan oleh para ulama sebagaimana yang sudah maklum,
yaitu 1) Membenarkan akidah mereka, ini jelas dilarang, dan pelakunya juga kafir, sekalipun dia tidak berkhianat pada orang Islam.
2) bergaul dengan mereka secara baik (al-mu’asyarah al-jamilah), ini hukumnya sah-sah saja.
3) condong kepada mereka (ar-rukun ilaihim) dan membela kepentingan mereka (nushrah).
Tindakan yang ketiga ini juga dikecam oleh syariat kendati ia tidak berkhianat pada orang Islam dan tidak sampai pada taraf kufur.
Kemudian, terkait makna “auliya” dalam ayat di atas tidak melulu bermakna teman karib atau aliansi,
tapi juga bisa bermakna yang menangani sebuah urusan dengan kata lain pemimpin.
Sehubungan dengan ini, Raghib al-Ishfahani mengurai makna kata auliya’ dalam bukunya Mu’jam Mufradat al-Fadzil-Quran hal. 606.
Beliau mengatakan, kata auliya’ yang merupakan bentuk plural kata wali bisa memiliki varian arti,
jika dibaca wilayah (kasrah) bermakna memberikan pembelaan (nushrah), jika dibaca walayah (fathah) berarti menyerahkan tampuk kekuasaan.
Bahkan menurut satu pendapat, kata wilayah dan walayah sama saja, sprt kata dalalah dan dilalah, yakni memiliki arti menyerahkan kekuasaan.
Dengan demikian, tidak ada salahnya ulama yang mengartikan kata “auliya” dengan “pemimpin”.
Toh pada kenyataannya, sebagian ulama juga mengharamkan mengangkat pemimpin non muslim berdasarkan ayat yang senada dengan ayat 51 ini,
yaitu an-Nisa' 144, demikian keterangan dalam Tafsir Ayatil-Ahkam (I/181).
Di samping itu, fakta sejarah menorehkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab memerintahkan Abu Musa al-Asy’ari dan Khalid bin Walid
untuk memecat petugas pencatat pengeluaran dan pemasukan (kharaj) setelah diketahui status agama petugas tersebut,
berdasarkan ayat 51 itu sprt termaktub dlm bebrpa kitab tafsir dan yang lain, semisal Sirajul-Muluk dan Ma’alimul-Qurbah fi Thalabil-Hisbah.
Selain itu, sudah ada konsensus ulama terkait keharaman mengangkat pemimpin non Muslim sbgmn ditegaskan Qadhi Iyadh dlm Syarah Shahih Muslim
Baik menjadi Bupati atau wakilnya, Gubernur atau wakilnya, dan Presiden atau wakilnya.
Ada juga yang berpendapat boleh, tapi dlm keadaan darurat, yakni tidak ada lagi pemimpin muslim atau ada tapi jelas akan berkhianat.
Namun demikian, harus ada kontrol penuh terhadapnya dan membendungnya ketika ia mengusik umat Islam.
Dan persoalan bolehnya mengangkat wazir tanfidz dari kalangan non muslim yang dibuat dalil bolehnya mengangkat pemimpin non muslim
oleh sebagian orang, insyaallah akan dibahas pada Ngaji Fikih. Demikian #NgajiTafsir kali ini, semoga bermanfaat.
Dari chirpstory
No comments:
Post a Comment