Thursday, September 18, 2025

Perjalanan Homeschool Kami

 


Assalamualaikum.

Kalo lagi ruwet-ruwetnya kondisi dunia, kepikiran ga, anak-anak kita tu nanti bakal bagaimana? Apa mereka akan bisa bertahan walau nanti kedua orang tuanya sudah tidak lagi membersamai mereka? Apa yang akan mereka lakukan? Apa yang mereka kerjakan? Wallahualam, aku sih ga kelar-kelar mikirinnya.

Jujur, ga tau jawabannya. Tapi aku makin yakin, dalam kondisi carut-marut pendidikan kita, homeschool masih pilihan terbaik buat kami. Lihat sendiri kan, kompetensi di atas kertas itu tidak mencerminkan apa-apa. Seseorang yang nilai sekolahnya panen nilai 6 bisa jadi anggota dewan terhormat dengan harta fantastis dan bisa dengan bangga pamer jam tangan yang harganya, kalo 2M dia mau beli 5 biji, mencapai 11M. 

Jadi, sudahlah. Aku ga berharap lagi pada nilai di atas kertas. Yang penting, kalo dikasih kertas kerja matematika, anak-anak bisa mengerjakan. Kalo disuruh jualan es, mereka bisa berhitung dan mengerti uang. Kalo disuruh ke warung, kembaliannya ga kurang. Apa mereka langsung bisa begitu? Ya, ndak, toh. Pasti lewat proses panjang yang masya Allah ga putus-putus cobaannya.

Perjalanan homeschool kami dimulai ketika si AA berusia 2 tahun. Saat itu aku juga belajar dulu dengan mengikuti webinar homeschool. Masa-masa awal ini diisi dengan pengenalan proses belajar, pengkondisian, pembiasaan rutinitas yang kemudian disusul dengan kemampuan calistung. Alhamdulillah, tidak perlu waktu lama buat mereka untuk bisa membaca. Ga ada resep canggih apapun. Ga pake metode apapun. Aku cuma kenalin huruf, mulai dari tracing sampai belajar menulis huruf tunggal. Latihan sampai bisa dan motoriknya terbiasa. Kemudian baru menulis suku kata a-i-u-e-o, ba-bi-bu-be-bo sampe za-zi-zu-ze-zo dan merangkainya dari aba, abi, abu, abe, abo sampe semua kombinasinya ditulis, setiap hari. Itu menghabiskan masing-masing satu buku tulis. 

Usia 6 tahun, si AA mengalami masa-masa sulit. Kami pindah ke Jakarta, alhamdulillah. Homeschool berlanjut. Minat baca digenjot di sini karena buku-buku di Jakarta masih mudah didapat. Kebiasaan membaca ini terus dipelihara apalagi waktu itu mereka sempat masuk TK setahun. Setelah kurasa ga ada kemajuan, aku tarik lagi dan berhenti sekolah. Kembali belajar di rumah dengan fokus pada calistung. Pada masa ini, kebiasaan-kebiasaan yang sudah tertanam sejak usia 2 tahun menunjukkan hasilnya. Mereka sudah terbiasa dengan rutin jadi ibu ga usah teriak-teriak lagi nyuruh mandi, makan, belajar. Semua sudah otomatis terjadwal di kepala.

Di periode 6-12 tahun ini, aku banyak beli buku, ajak mereka berkegiatan di luar. Dari main bulutangkis, ikut lomba-lomba skala kecil semacam lomba adzan, hafalan surat pendek, 17-an, sampe ikut kegiatan menghias donat. Di masa ini juga, aku sempat bawa mereka ke poli jiwa RSCM untuk periksa apa mereka ada trauma setelah mengalami perceraian orang tuanya. Alhamdulillah, ga ada ya, guys

Selain itu, kami selalu berusaha sholat di mesjid untuk melatih anak laki sholat di mesjid. Juga, belajar mengaji dari ustad yang ada di mesjid. Selama masa ini, anak-anak tidak punya HP sendiri. Ada TV di rumah tapi biasanya mereka main sendiri karena sudah terbiasa tidak nonton TV sejak di Turki. Anak laki mulai suka bola dan berkebun. Anak perempuan memilih prakarya pekerjaan tangan. Sementara itu, hafalan Quran sudah mulai ditingkatkan dengan bantuan ustad di mesjid. Sampai hari ini, mereka masih terus menghapal. Ga ada target dan ga muluk-muluk. Yang penting istiqomah aja. 

Saat ini usia mereka 14 tahun. Kegiatan utamanya adalah belajar agama secara online di HSI Abdullah Roy. Selain itu, anak perempuan suka menggambar. Anak laki main FC mobile, berkebun dan bikin layangan. Mereka juga membantuku mengurus ibu (nenek mereka) yang sudah sakit-sakitan. Mereka sudah mulai pegang HP walau satu HP untuk berdua dan selalu aku bawa pergi kerja. Aku sudah mulai banyak teriak-teriak karena selalu kalah set dari si HP semprul itu. 

Untuk mengurangi dampak si HP, aku selalu cek aplikasi yang ada sambil aku buang kala asyik ngomel mengomentari isi HPnya. Aku juga pasang aplikasi ipusnas biar mereka ada bahan bacaan. Tambahan kegiatan adalah mengerjakan worksheet yang selalu aku siapkan tiap minggu dan membantu mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah menjadi kewajiban mereka. 

Jadi, kalo boleh aku simpulkan buat emak-bapak yang sedang berpikir untuk memulai homeschool, jangan terlalu jauh pasang target. Kalopun ada target besar, dibuat kecil-kecil dan realistis dulu. Langkah awal adalah pembiasaan dan pengkondisian. Ini penting. Bagaimana anak bisa dan mau belajar kalo tidak dibiasakan? Pekerjaan rumah dan rutinitas juga sebaiknya ditanamkan di awal. Akan sulit membiasakan anak melakukan 2 hal tersebut di saat mereka sudah besar.

Setelah itu baru masuk ke calistung dan kemampuan akademis, belajar bahasa dan sebagainya. Setelah itu kemudian akan mengalir dengan sendirinya dan mencari bentuknya sendiri.

Perihal ijasah, sampe detik ini, kami belum pengen punya ijasah. Anak laki sudah yakin, ga mau kerja sama orang lain. Kalo harus kerja mencari nafkah, lebih baik punya usaha sendiri. Tapi dia tidak menolak kalo ditawari kesempatan "kerja" untuk mendapatkan pengalaman (seperti magang gitulah). Itu makanya, dia antusias ikut panitia kurban motong hewan dan membagikan daging-dagingnya. Pulang udah keling dan bau prengus. Tapi kalo dia suka, yaudah biarin ajalah.

Lagi-lagi aku bilang, pengalaman dan keahlian seseorang tidak serta-merta bisa diwakili dengan selembar kertas hasil ujian. Seringkali, selembar kertas itu tidak punya arti apa-apa. Dan itulah yang terjadi pada kita setelah bertahun-tahun belajar dengan sederet ijasah. Insya Allah di masa depan, anak-anak kita bisa hidup, berkarya dan memberikan sumbangsih terbaik mereka untuk negeri ini tanpa harus didera pembuktian melalui selembar kertas. 


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...