Monday, June 15, 2015

Bahasa Ibu



Assalamualaikum.

Kemarin saya menemukan sebuah tulisan di facebook mengenai bahasa ibu. Saya jadi teringat masa-masa awal saya bersama si kembar. Saya dan suami adalah pelaku perkawinan campur, berbeda bangsa dan bahasa. Waktu menikah saya tak pernah sekalipun terpikir soal bahasa apa yang harus diajarkan pada anak-anak jika kami punya anak. Ketika akhirnya kami mempunya anak, saya pun kebingungan. Tadinya saya ingin menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Turki di rumah. Hehe, gaya banget, ya.

Lalu saya berkonsultasi pada seorang teman yang adalah seorang psikolog. Ia menyarankan saya menggunakan satu bahasa secara konsisten dan suami pun menggunakan bahasanya secara konsisten. Jadi pilihan bahasa Inggris dan bahasa Turki sebenarnya tidak masalah. Tapi, dia menekankan bahwa bahasa ibu juga diajarkan kepada anak-anak.

Karena bahasa ibu saya adalah bahasa Indonesia maka jadilah saya menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anak saya dan suami menggunakan bahasa Turki kepada anak-anak. Sampai sekarang. Saya malah belum lagi mengajarkan bahasa Inggris karena anak-anak belum bisa menulis. Sekedar menonton video-video berbahasa Inggris, iya; tapi benar-benar belajar, belum. Kelak suatu hari nanti, insya Allah.

Nah, tulisan berikut ini menjadi semacam justifikasi pentingnya kita mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak. Semoga bermanfaat dan menjadi sebuah pertimbangan bagi para orang tua perkawinan campur yang sedang bingung memilih bahasa. ^^

Renungan Pendidikan  #43 (Harry Santosa)

#‎bahasaibu

Mungkin banyak diantara kita sering mengabaikan pentingnya bahasa ibu (mother tongue) dalam pendidikan anak usia dini. Entah mengapa kita selalu terjebak kepada penjejalan aspek kognitif seperti calistung dan bahasa asing juga pengajaran kognitif lainnya yang belum waktunya pada anak anak usia dini. Bahasa Ibu adalah bahasa dimana ayah ibu sangat fasih dan baik dalam mengekspresikan fikiran dan perasaan baik verbal maupun non verbal melalui suatu bahasa. Tanpa bahasa ibu yang baik, fitrah keimanan, fitrah belajar dan fitrah bakat sulit untuk tumbuh. Fitrah keimanan dalam wujud sensitifitas nurani kebenaran dan ekpresi jiwa bahkan tidak terbangun tanpa bahasa ibu. Fitrah belajar dalam wujud ekpresi gagasan dan nalar bahkan menjadi terhambat tanpa bahasa ibu. Fitrah bakat dalam wujud ekspresi sifat dan pilihan aktifitas bahkan menjadi tertutup tanpa bahasa ibu.

Sebuah kisah berikut barangkali bisa menyadarkan kita. Pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun.Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Sepanjang saat ia tidak henti-henlinya meludah.Tidak satu saat pun terdengar bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. la meninggalkan catatan, "Dunia tidak akan pernah mengerti."

Mungkin ia benar. Dunia tidak akan mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat membenci anaknya begitu sangat. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie demikian nama samaran gadis tersebut, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri.Sejak kecilnya ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tetapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya.Si ayah tidak pernah bicara, Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya, Kakak laki-laki Genielah akhirnya yang berusaha memberi makan dan minum. Itupun sesuai dengan perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara.Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakaknya dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut pada ayahnya. Ketika Genie masuk rumah sakit, ia tidak diketahui apakah dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu.
Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia satu tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, linguis, neurolog, dan mereka yang mempelajari perkembangan otak manusia. Genie adalah contoh yang langka tentang seorang anak manusia yang sejak kecil hampir tidak pernah memperoleh kesempatan berkomunikasi. Penemuan Genie menarik perhatian. Genie tidak dibekali keterampilan mengungkapkan pikirannya dalam bentuk lambang-lambang yang dipahami orang lain.Apakah kurangnya keterampilan ini menghambat perkembangan mental lainnya? Apakah sel-sel otak mengalami kelambatan pertumbuhan? Apakah seluruh sistem kognitifnya menjadi lumpuh?

Yang jelas fitrah Genie telah dirusak akibat komunikasi yang buruk, bahasa ibu yang tidak utuh sama sekali. Tentu saja kita tak seburuk kisah di atas. Genie adalah contoh ekstrim.

Namun tanpa sadar kitapun mirip ayah Genie, karena sering menciptakan "kerangkeng" bagi anak-anak kita dengan sesuatu yang belum waktunya sementara mengabaikan sesuatu yang penting pada usianya. Kita sering membuat kesempatan komunikasi menjadi terbatas karena berbagai obsesi dan alasan sehingga bahasa ibu tidak tumbuh sempurna. Banyak orangtua dan guru merasa tidak mendidik apapun jika tidak mengajarkan atau mengkursuskan anak anaknya untuk calistung, jika tidak memboarding anak sejak dini, jika tidak memberi les untuk belajar berbagai bahasa asing padahal bahasa ibunya belum tuntas, padahal banyak kisah inspiratif sastrawi yang belum dibacakan dan diceritakan, dstnya.

Riset membuktikan bahwa anak yang belajar bahasa asing sejak dini umumnya mengalami gejala bingung bahasa dan mental block, yaitu kegagalan mengekspresikan gagasan dan fikiran, yang berakibat pada kejiwaan dan relasi sosial yang buruk.

Lihatlah Rasulullah SAW, walaupun beliau buta huruf, namun bahasa ibunya telah fasih, utuh sempurna sepanjang masa balitanya. Maka sejarah mencatat bagaimana beliau dikenal sebagai manusia yang halus budi dan tutur katanya, sangat memahami kejiwaan seseorang melalui psikologi komunikasi baik, memiliki kemampuan yang hebat dalam mengekspresikan perasaan dan fikiran dstnya. Bahasa Ibu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Kegagalan mengekpresikan gagasan dan perasaan, kegagalan menangkap makna dari ekpresi seseorang baik tutur maupun gestur dstnya akan sangat berpengaruh pada keseluruhan konstruksi kejiwaan dan fitrah anak anak kita. Konstruksi bahasa ibu yang buruk pada anak anak akan berpengaruh pada perkembangan jiwa, kesehatan fisik, relasi sosial pada tahap usia selanjutnya. Jangan remehkan keindahan bahasa dan sastra dalam menumbuhkan fitrah anak-anak kita dan bahkan memerdekakan peradaban dunia. Tanpa sensitifitas bahasa ibu, lalu bagaimana memahami, menghayati dan mengamalkan pesan-pesan langit serta menangkap getar-getar cinta ilahi dalam kehidupan? Tanpa sensitifitas bahasa ibu, maka tidak terbayangkan bagaimana mampu menghayati bahkan mencintai alQuran dengan sastra yang begitu tinggi? Tanpa sensitifitas bahasa ibu, maka sulit dibayangkan bagaimana sensitif terhadap permasalahan ummat dan peradaban. Pantas saja banyak yang tahu kebenaran namun gagal secara sensitif menghayati dan membela kebenaran. Salam Pendidikan Peradaban
posted from Bloggeroid

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...