Friday, August 19, 2016

NGAJI di WARTEG: Kisah dibalik Penghapusan 7 Kata dalam Piagam Jakarta

Assalamualaikum.

Dalam rangka 17-an, biar makin paham hasil kerja siapakah kemerdekaan yang kita nikmati saat ini, yuk luangkan waktu untuk sedikit membaca sejarah. Semoga bermanfaat. Merdeka!

dari The Islamic Media


KISAH DIBALIK PENGHAPUSAN 7 KATA DALAM PIAGAM JAKARTA.


Tanggal 22 Juni bagi umat Islam di Indonesia adalah hari yang sangat bersejarah. Pada hari itu, sebuah gentlement agreement, perjanjian luhur yang dibuat oleh tokoh-tokoh nasional, berhasil merumuskan sebuah tonggak sejarah bagi cita-cita penegakan syariat Islam di Indonesia.

Pada 22 Juni 1945, tokoh-tokoh nasional yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, A.A Maramis, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, dan KH Abdul Wahid Hasjim, menandatangani sebuah kesepakatan yang kemudian disebut dengan “Piagam Jakarta”.

Naskah Piagam Jakarta yang dilahirkan dari hasil konsensus bersama, dengan mencurahkan segala pikiran dan tenaga, kemudian menjadi Mukaddimah (Preambule) dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Allahyarham Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Umat Islam ketika itu menyambutnya dengan suka cita, karena harapan untuk bisa menjalankan syariat Islam yang diatur oleh negara akan bisa terlaksana.

Tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu:
“Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
adalah hadiah terbesar bagi umat Islam yang memang memiliki cita-cita kemerdekaan dalam bingkai Islam.

Setelah Soekarno membacakan Mukaddimah UUD 1945, yang di antaranya berisi, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“, upaya-upaya untuk menghapus kata-kata tersebut terus berdatangan dari kelompok non-Muslim.

Salah satunya dari tokoh Kristen asal Maluku, Latuharhary, yang menyatakan bahwa kalimat tersebut mengkhawatirkan bagi pemeluk agama lain. Kekhawatiran Latuharhary disampaikan hanya selang sehari setelah Soekarno membacakan Mukaddimah UUD 1945 tersebut.

Soekarno kemudian mengingatkan pada anggota sidang bahwa Preambule (Mukaddimah) itu adalah suatu jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. “Kalau kalimat itu tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” kata Soekarno.

Selain Latuharhary, seorang anggota Panitia Hukum Dasar yang menganut ajaran kebatinan, Wongsonagoro dan Hoesein Djadjadiningrat, juga memprotes soal kalimat yang memasukkan kewajiban syariat Islam tersebut.

Mereka mengatakan, kalimat tersebut seolah-olah adalah paksaan dari negara bagi umat Islam untuk menjalankan syariat Islam. Protes mereka kemudian dipatahkan oleh Soekarno, dengan menegaskan, “Anak kalimat itu merupakan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan, yang hanya didapat dengan susah payah.”

Namun, upaya menghapus keyakinan Islam dalam Mukaddimah UUD 1945 terus dilakukan. Kelompok Kristen nampaknya masih terus keberatan dengan naskah Piagam Jakarta. Mereka kasak-kusuk mencari dukungan, agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam, bisa dihapuskan.

Mereka terus melakukan lobi-lobi politik, sampai-sampai tak ada satu pun dari mereka (kalangan Kristen) hadir di Jalan Pegangsaan 56, ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945, dibacakan.

Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, kalangan Kristen hadir dalam pembacaan naskah proklamasi tersebut. Apalagi, proklamasi itu disiarkan ke seluruh pelosok negeri, bahkan ke luar negeri.

Belakangan diketahui, para aktivis Kristen tidak hadir karena sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Berkat lobi-lobi politik kepada Mohammad Hatta dan pendekatan kepada tokoh-tokoh Islam yang dikenal tegas seperti Ki Bagus Hadikusumo, dan sedikit ancaman bahwa rakyat Indonesia Timur akan melepaskan diri jika kalimat dalam Piagam Jakarta itu tetap ada.

Akhirnya kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Penghapusan itu terjadi hanya selang sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, yaitu pada 18 Agustus 1945.

Dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut.

Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:

Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.

Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam.”

Keempat, terkait perubahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, saat itu dengan sedih dan perih mengatakan,

”Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini, kemudian di dalam rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya? Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”

Sementara Muhammad Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan.

Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan.
”Menyambut proklamasi tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...