Assalamualaikum.
Lagi rame soal dwi kewarganegaraan. Pas banget momennya. Pas bulan kemerdekaan. Pas rasa nasionalisme lagi kenceng-kencengnya. Pas banyak yang sedang siap-siap menikah dengan orang asing. Pas untuk kembali belajar.
Soal (mantan) menteri kita yang ternyata mempunyai paspor asing atau soal anggota paskibraka yang juga mempunyai paspor asing, silakan gugel sendiri lah, ya. Saya rasa kita semua punya akses terhadap informasi seluas-luasnya. Hanya satu saja, sebelum berkomentar dan menyebarkan, harap membaca sebanyak-banyaknya dan menelaah sedalam-dalamnya supaya kita tidak dicap sok tau.
Soal warga negara adalah soal kedaulatan, bukan soal diskriminasi atau lainnya, menurut saya loh, yaa. Jadi apakah negara menzolimi bapak AT dan mba G dalam hal memiliki paspor asing, itu adalah perkara lain.
Yang pasti salah satu syarat menjadi menteri di NKRI adalah seorang WNI. Dan jika seorang WNI memiliki paspor negara lain maka otomatis status WNI-nya gugur, hilang, musnah, tertiup angin bahorok. Halah.
Dalam diskusi BERSAMA PPI Paris, salah satu narsum menjelaskan syarat-syarat pengangkatan menteri sesuai undang-undang sebagai berikut:
Jadi kasus bapak AT sudah jelas dan langkah yang diambil bapak presiden pun sudah tepat.
Sementara itu soal mba G yang batal dilantik menjadi anggota paskibraka karena mempunyai paspor Perancis, adalah sama dengan kasus bapak AT. Soal kenapa baru ketahuan ketika akan dilantik, silakan ditanya kepada yang berwenang.
Yang saya ingin luruskan adalah soal paspor asingnya. Karena mba G mempunyai paspor asing maka dia bukan WNI.
Tapi ibunya orang Indonesia, loh.
Ketika mba G lahir, tahun 2000, belum ada UU soal dwi kewarganegaraan yang mengatur bahwa anak dari ibu Indonesia dan ayah asing yang lahir setelah berlakunya UU secara otomatis bisa memiliki dua kewarganegaraan hingga si anak berusia 18 tahun untuk kemudian memilih salah satu kewarganegaraannya karena Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda.
Nah si ibu mba G seharusnya mengajukan affidavit permohonan kepada pemerintah supaya mba G diberi dua kewarganegaraan hingga usianya 18 tahun. Tapi kan si ibu tidak melakukan itu. Dia langsung membuatkan paspor Perancis untuk anaknya karena anaknya sering dibawa ke Perancis. Jadi tidak pada tempatnya jika si ibu koar-koar di media bahwa putrinya mendapatkan diskriminasi. Jelas putrinya bukan WNI. Hak dan kewajibannya pun berbeda. (Lihat beritanya disini)
Sekali lagi ini bukan soal diskriminasi. Ini soal aturan.
Mengapa presiden akhirnya mengijinkan dia untuk ikut serta dalam upacara penurunan bendera merah putih? Tanyakan langsung pada presiden lah. Menurut prof. Yusril Ihza Mahendra:
Yang pasti secara simbolis, bagaimana mungkin seorang WNA menurunkan bendera merah putih? Apa kesan yang bisa kita tangkap? Dan seharusnya ada satu anak WNI yang berhak atas posisi yang diberikan pada mba G di upacara tersebut.
Masih mau ribut soal diskriminasi?
Persoalan kewarganegaraan adalah persoalan penting yang wajib diketahui oleh semua orang di dunia, termasuk orang Indonesia, khususnya mereka yang hendak menikah dengan orang asing atau sudah menikah dengan orang asing, dan mereka yang akan tinggal dan bekerja lama di negara lain. Jangan sampai hal ini jadi menyusahkan kita di kemudian hari.
Jadi, menikah dengan orang asing bukanlah sekedar perkara gengsi. Ada perkara yang lebih rumit yang harus dipahami dan diantisipasi supaya kasus-kasus semacam kasus mba G tidak terjadi pada kita.
Semoga bermanfaat.
Daftar bacaan:
Serangan Internasional (Negara Adidaya) Terhadap Kedaulatan NKRI. Oleh @ratu_adil
Lagi rame soal dwi kewarganegaraan. Pas banget momennya. Pas bulan kemerdekaan. Pas rasa nasionalisme lagi kenceng-kencengnya. Pas banyak yang sedang siap-siap menikah dengan orang asing. Pas untuk kembali belajar.
Soal (mantan) menteri kita yang ternyata mempunyai paspor asing atau soal anggota paskibraka yang juga mempunyai paspor asing, silakan gugel sendiri lah, ya. Saya rasa kita semua punya akses terhadap informasi seluas-luasnya. Hanya satu saja, sebelum berkomentar dan menyebarkan, harap membaca sebanyak-banyaknya dan menelaah sedalam-dalamnya supaya kita tidak dicap sok tau.
Soal warga negara adalah soal kedaulatan, bukan soal diskriminasi atau lainnya, menurut saya loh, yaa. Jadi apakah negara menzolimi bapak AT dan mba G dalam hal memiliki paspor asing, itu adalah perkara lain.
Yang pasti salah satu syarat menjadi menteri di NKRI adalah seorang WNI. Dan jika seorang WNI memiliki paspor negara lain maka otomatis status WNI-nya gugur, hilang, musnah, tertiup angin bahorok. Halah.
Dalam diskusi BERSAMA PPI Paris, salah satu narsum menjelaskan syarat-syarat pengangkatan menteri sesuai undang-undang sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan
f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Berdasarkan kerangka penyusunan pasal, kata "dan" di huruf e merupakan bentuk kumulatif yang mana semua syarat tersebut harus dipenuhi sebelum pengangkatan terhadap seorang individu sebagai Menteri dilakukan.
Pertanyan yang kemudian muncul adalah, bagaimana jika salah satu atau beberapa syarat tersebut tidak dipenuhi?
Tentunya se-capable apapun individu dimaksud, dianggap tidak memenuhi syarat sehingga apa implikasinya? Individu dimaksud TIDAK LAYAK untuk diangkat sebagai menteri.
Jadi kasus bapak AT sudah jelas dan langkah yang diambil bapak presiden pun sudah tepat.
Sementara itu soal mba G yang batal dilantik menjadi anggota paskibraka karena mempunyai paspor Perancis, adalah sama dengan kasus bapak AT. Soal kenapa baru ketahuan ketika akan dilantik, silakan ditanya kepada yang berwenang.
Yang saya ingin luruskan adalah soal paspor asingnya. Karena mba G mempunyai paspor asing maka dia bukan WNI.
Tapi ibunya orang Indonesia, loh.
Ketika mba G lahir, tahun 2000, belum ada UU soal dwi kewarganegaraan yang mengatur bahwa anak dari ibu Indonesia dan ayah asing yang lahir setelah berlakunya UU secara otomatis bisa memiliki dua kewarganegaraan hingga si anak berusia 18 tahun untuk kemudian memilih salah satu kewarganegaraannya karena Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda.
Nah si ibu mba G seharusnya mengajukan affidavit permohonan kepada pemerintah supaya mba G diberi dua kewarganegaraan hingga usianya 18 tahun. Tapi kan si ibu tidak melakukan itu. Dia langsung membuatkan paspor Perancis untuk anaknya karena anaknya sering dibawa ke Perancis. Jadi tidak pada tempatnya jika si ibu koar-koar di media bahwa putrinya mendapatkan diskriminasi. Jelas putrinya bukan WNI. Hak dan kewajibannya pun berbeda. (Lihat beritanya disini)
Sekali lagi ini bukan soal diskriminasi. Ini soal aturan.
Mengapa presiden akhirnya mengijinkan dia untuk ikut serta dalam upacara penurunan bendera merah putih? Tanyakan langsung pada presiden lah. Menurut prof. Yusril Ihza Mahendra:
"Tidak jelas betul apa dasar hukum Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla membolehkan Gloria Natapradja Hamel menjadi anggota Paskibraka untuk ikut menurunkan bendera di Istana. Berdasarkan UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia yang berlaku ketika itu (tahun 2000 saat Gloria lahir) Gloria pasti WN Perancis dan bukan WNI. Sebab UU 62/1958 tentang Kewarganegaraan RI menganut asas 'ius sanguinis patriachat, (kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah menurut garis ayah)," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/8).
Lebih lanjut, Yusril mengatakan mustahil Gloria punya status dwikewarganegaraan. Sebab UU yang mengatur adanya dwikewarganegaraan yakni UU No 12/2006 baru disahkan tahun 2006. UU tersebut tidak berlaku surut dan paspor Gloria yang diakui juga Paspor Perancis.
"Mungkin saja dia punya KITAP atau Kartu Izin Tinggal Tetap mengingat orangtuanya tinggal di Indonesia. Tapi jelas dia bukan WNI, sehingga menurut hukum, Gloria tidak boleh menjadi anggota Paskibraka, walau hanya untuk menurunkan saja," ujar Yusril. (dari merdeka)
Yang pasti secara simbolis, bagaimana mungkin seorang WNA menurunkan bendera merah putih? Apa kesan yang bisa kita tangkap? Dan seharusnya ada satu anak WNI yang berhak atas posisi yang diberikan pada mba G di upacara tersebut.
Masih mau ribut soal diskriminasi?
Persoalan kewarganegaraan adalah persoalan penting yang wajib diketahui oleh semua orang di dunia, termasuk orang Indonesia, khususnya mereka yang hendak menikah dengan orang asing atau sudah menikah dengan orang asing, dan mereka yang akan tinggal dan bekerja lama di negara lain. Jangan sampai hal ini jadi menyusahkan kita di kemudian hari.
Jadi, menikah dengan orang asing bukanlah sekedar perkara gengsi. Ada perkara yang lebih rumit yang harus dipahami dan diantisipasi supaya kasus-kasus semacam kasus mba G tidak terjadi pada kita.
Semoga bermanfaat.
Daftar bacaan:
Serangan Internasional (Negara Adidaya) Terhadap Kedaulatan NKRI. Oleh @ratu_adil
No comments:
Post a Comment