Friday, February 1, 2013

NGAJI di WARTEG: Menutup Aurat atau Membalut Aurat?



Gambar dari eramuslim

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا 

لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:
[1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan
[2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)





Lalu bagaimana cara berhijab sesuai syariat supaya kita tidak termasuk golongan tersebut di atas? Berikut adalah dalil-dalilnya:


1. Dari Khalid bin Duraik: ‘’Aisyah RA, berkata: ‘’Suatu hari, asma binti abu bakar menemui Rasulullah SAW dengan menggunakan pakaian tipis, beliau berpaling darinya dan berkata: ‘’wahai asma’’ jika perempuan sudah mengalami haid, tidak boleh ada anggota tubuhnya yang terlihat kecuali ini dan ini, sambil menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan.’’ (HR. Abu Daud).

Hadits ini menunjukkan dua hal:
a. Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
b. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat. Dari kedua dalil di atas, jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat shalat saja atau ketika hadir di pengajian, namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.

2. Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumurnya (Indonesia:hijab) ke dadanya….” Ayat ini menegaskan empat hal:


a. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah.
b. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
c. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.
Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab, jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Menurut Ibnu Umar RA yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan.
d. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau, dalam bahasa kita disebut hujab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan hijab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tetapi, ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.

Jadi, kesimpulannya? Hijab atau pakaian untuk muslimah yang sesuai dengan aturan syariat haruslah:
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Tidak tipis dan transparan. (Sesuai hadits di atas)
3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat).
4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.

“Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah haid kecuali dalam keadaan memakai khimar (penutup kepala).” (HR. At-Tirmidzi dalam bab Shalat, 377; Ahmad (24641); Abu Daud, bab Shalat (641); Ibnu Majah, bab Shalat (655))

Wallahualam.

Dari dakwatuna & alsofwa.



1 comment:

  1. Ketika menoleh ke kanan dan ke kiri, saya menjumpai fakta yang sangat memilukan. Dia (mereka), teman2 saya, yang (dulu) sangat memegang teguh prinsip, berhijab dengan sempurna, menjaga pandangan, bahkan menjadi inspirasi bagi saya. Kemudian dia (mereka) memutuskan untuk menimba ilmu dan atau merantau, mengadu nasib di negeri kafir eropa. Tinggallah saya yang kemudian syok mendengar kabar bahwa dia (mereka) melepaskan idealisme. Adanya diskriminasi, sudah dapat restu suami atau orang tua, tidak praktis, tidak cocok dengan iklim dan sebagainya, sering disebut sebagai 'pembenaran' atas tanggalnya pakaian takwanya (mereka). Tapi ketika pulang kampung, pakaian itu kembali dikenakan, meski (kadang) sekedarnya. Malu sama teman lama, orangtua, mantan dosen, tetangga, dll katanya. Apakah suami/orangtua/manusia lebih berhak dipatuhi di atas Allah? Ataukah Allah hanya ada di Indonesia saja? Alhamdulillah, masih punya malu. Tapi, adakah malu yang lebih besar daripada malu kepada Allah?

    Curhat mbaaakkk :(

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...