Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada akhir Maret 2015, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh peristiwa pemblokiran sejumlah media on-line Islam oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Setidaknya ada 19 situs Islam yang diblokir, seperti panjimas.com, muslimdaily.net, kiblat.net, dakwahmedia.net, hidayatullah.com, eramuslim.com, dan lain-lain. Seperti dilaporkan oleh www.harianterbit.com, Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang juga Direktur Deradikalisasi Irfan Idris, menjelaskan, ada empat kriteria situs dinilai mengajarkan radikalisme.
"Ajakan propaganda mengafirkan pihak lain, takfiri. Presiden dikafirkan, pemerintah dikafirkan, pemerintah thogut, pemerintah syirik," katanya di Jakarta, Selasa (31/3/2015).
Hal ini dikatakannya kepada perwakilan tujuh situs Islam yang mengajukan protes karena diblokir oleh Kementerian Kominfo Kemudian mendukung dan mengajak bergabung dengan ISIS atau Negara Islam. "Memaknai jihad dengan sempit," katanya.
Selain itu ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Ia mengatakan, “pihaknya memiliki tim kecil untuk menganalisis situs-situs yang dinilai radikal.” Terkait dengan 19 situs yang diblokir oleh Kemenkominfo atas permintaan BNPT, menurut dia, pihaknya mempunyai bukti-bukti materiil terkait situs-situs yang dinilai radikal. "Ada buktinya, saya ada gambarannya," katanya.
Ketika catatan ini dibuat, berbagai pihak sudah memberikan pandangannya tentang kasus tersebut. Catatan ini tidak akan memasuki wilayah itu. Biarlah BNPT dan Kemkominfo mempertanggungjawabkan tindakannya, di dunia dan akhirat. Secara ringkas, dalam pandangan saya, jika situs-situs Islam itu melakukan tindakan yang salah – menurut ajaran Islam – mereka wajib diingatkan, diberitahukan kesalahannya, sebelum dijatuhi sanksi. Dengan pemberitahuan itu, maka situs-situs Islam itu bisa memperbaiki diri, dan meningkatkan kualitasnya, sehingga semakin baik dan bermanfaat.
Jika situs-situs itu menyampaikan kebenaran Islam sebagai pelaksanaan kewajiban dakwah, dan kemudian diblokir, maka yang rugi justru pihak Kemkominfo dan BNPT sendiri. Sebab, mereka telah melakukan kezaliman dan menghalang-halangi orang menyampaikan dakwah yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah SWT. (QS an-Nahl:125). Tindakan itu akan menghadapkan mereka dengan Allah sendiri. Sementara para pengelola situs Islam itu justru diuntungkan, karena mereka mendapatkan pahala dan terbuka peluang besar doanya dikabulkan oleh Allah SWT.
Karena itu, kita mengimbau, agar semua pihak – khususnya yang muslim – segera menyelesaikan masalah ini dengan baik, melalui mekanisme musyawarah dengan hati yang ikhlas dan menekan perasaan dendam dan kebencian. Pada catatan kali ini, ada baiknya kita menelaah kembali pemikiran Samuel Huntington yang berisi saran-saran bagaimana seharusnya dunia Barat – khususnya AS – memandang dan memperlakukan Islam. Bagian ini pernah saya terbitkan sebagai satu artikel di Harian Republika, saat Huntington baru saja menerbitkan bukunya yang baru berjudul Who Are We? Tahun 2004. Meskipun sudah berlalu 10 tahun, tulisan itu masih sangat relevan untuk kita telaah dan renungkan, agar kita tidak terjebak dalam pemikiran dan skenarionya yang merugikan kita sebagai satu umat dan satu bangsa.
****
Nama Samuel P. Huntington identik dengan wacana “Clash of civilizations”, meskipun wacana ini sudah diluncurkan oleh Bernard Lewis, melalui artikelnya berjudul “The Roots of Muslim Rage” di jurnal Atlantic Monthly, September 1990. Artikel Lewis ini merupakan persiapan untuk menentukan siapa “musuh baru” Barat pasca Perang Dingin.
Huntington kemudian mempopulerkan wacana Lewis. Pemikirannya tentang “clash of civilizations” -- khususnya antara Islam dengan Barat – masih terus menjadi perbincangan luas. Bukan karena kualitas ilmiah wacana populer tersebut, tetapi karena banyaknya kecocokan antara pemikiran dan saran Huntington dengan perkembangan politik global saat ini. Khususnya, kebijakan politik Barat (terutama AS) terhadap Islam.
Jika di dalam The Clash of Civilizations Huntington masih tidak terlalu tegas menyebut “Islam” sebagai alternatif musuh baru bagi Barat, maka dalam bukunya, Who Are We? ia menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang Dingin adalah Islam – yang ia tambah dengan predikat “militan”. Namun, dari berbagai penjelasannya, definisi “Islam militan” melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.
Buku terkenalnya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, lebih ditujukan sebagai bahan nasehat bagi pengambil kebijakan politik Barat, khususnya AS, dan bukan untuk satu kajian ilmiah dalam ilmu sosial. Ia menulis dalam pengantar bukunya: “This book is not intended to be a work of social science. It is instead meant to be an interpretation of the evolution of global politics after the Cold War. It aspires to present a framework, a paradigm, for viewing global politics that will be meaningful to scholars and useful to policymakers.”
Tahun 2004, Huntington kembali meluncurkan buku barunya, berjudul “Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004). Huntington adalah ilmuwan politik dari Harvard University yang juga dikenal sebagai penesehat politik kawakan Gedung Putih. Disamping pernah menduduki jabatan-jabatan prestisius di bidang akademis, Huntington juga aktif terlibat dalam perumusan kebijakan luar negeri AS. Tahun 1977-1978 ia bekerja di Gedung Putih sebagai ‘Coordinator of Security Planning for the National Security Council’.
Penggunaan istilah “war” merupakan refleksi kebijakan baru politik AS sebagaimana disarankan Huntington. Saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada late spring 2003, Huntington mendukung dilakukannya “preemptive strike” terhadap kaum militan. Nasehat Huntington memang telah dijalankan. Pada awal Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola “peperangan” melawan “musuh”. Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru – yang diberi nama Islam militan – AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention.
Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War). Jadi, Huntington memang menggunakan istilah ‘perang’ (war) antara AS dengan Islam militan. Jika saat berperang dengan Uni Soviet yang memiliki persenjataan seimbang dengan AS, masih digunakan istilah “Perang Dingin” maka sekarang predikat “Dingin” sudah tidak ada lagi.
Samantha Power, dalam bukunya “A Problem from Hell: America and The Age of Genocide” (London: Flamingo, 2003), membongkar habis-habisan sikap tidak peduli AS terhadap praktik pembasmian umat manusia di berbagai tempat, termasuk di Bosnia. Buku ini memenangkan hadiah Pulitzer tahun 2003. Dalam kasus Bosnia, tulis Samantha, AS bukan hanya tidak berusaha menghentikan pembasmian etnis Muslim, tetapi malah memberi jalan kepada Serbia untuk melaksanakan kebiadaban mereka. (Along with its European allies, it maintained an arms embargo against the Bosnian Muslims from defending themselves). Untuk Bosnia, Samanta yang menjadi saksi berbagai kebiadaban Serbia di Bosnia, menulis judul “Bosnia: No More than Witnesses at a Funeral”.
Tetapi, Huntington tidak mau menampilkan fakta bahwa kebencian masyarakat Barat (Eropa dan rakyat AS sendiri) terhadap kebijakan-kebijakan politik AS juga sangat besar. Bahkan, jauh lebih besar dari apa yang terjadi di kalangan Muslim. Di dunia Islam, tidak ada demonstrasi besar-besaran diikuti ratusan ribu sampai jutaan orang dalam menentang AS seperti yang terjadi di berbagai negara Eropa dan di dalam AS sendiri. Banyak ilmuwan dan tokoh AS, seperti Prof. Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan AS sebagai ‘a leading terrorist state’, atau ‘a rogue state’. Karena itu, sangatlah naif, bahwa ilmuwan seperti Huntington ini justru mencoba menampilkan fakta yang tidak fair dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia menyatakan, “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.”
Sebagaimana ilmuwan “neo-orientalis” lainnya, seperti Bernard Lewis, Huntington juga tidak mau melakukan kritik internal terhadap kebijakan AS yang imperialistik – sebagaimana banyak dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Noam Chomsky, Paul Findley, dan Edward Said. Ia tidak mengakui bahwa kebijakan AS yang membabi buta mendukung kekejaman dan penjajahan Israel adalah keliru dan menjadi satu sebab penting tumbuhnya ketidakpuasan dan kemarahan kaum Muslim dan umat manusia. Ia hanya mau menunjukkan bahwa Islam adalah potensi musuh besar dan bahaya bagi Barat dan AS khususnya. Ia menampilkan polling-polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan, sebagian besar kaum Muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Misal, sebuah polling di sembilan negara Islam, antara Desember 2001-Januari 2002, menampilkan realitas opini di kalangan Muslim, bahwa AS adalah “kejam, agresif, sombong, arogan, mudah terprovokasi dan bias dalam politik luar negerinya.”
Huntington, Bernard Lewis, dan kawan-kawannya terus berkampanye agar negara-negara Barat lain juga mengikuti jejak AS dalam memperlakukan Islam sebagai alternatif musuh utama Barat, setelah komunis. John Vinocur, dalam artikelnya berjudul “Trying to put Islam on Europe’s agenda”, (International Herald Tribune, 21 September 2004), mencatat, “But Huntington insists Europe’s situation vis-à-vis Islam is more acute.” Skenario inilah yang dirancang kelompok “Neo-konservatif” di AS, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis, dan ilmuwan konfrontasionis. (Lihat buku The High Priests of War, Washington DC: American Free Press, 2004), karya Michel Colin Piper).
Karena itulah, Huntington memperingatkan, pertumbuhan penduduk Muslim merupakan satu faktor destabilitas terhadap masyarakat Muslim dan lingkungannya. Jumlah besar kaum muda Muslim dengan pendidikan menengah akan terus memperkuat kebangkitan Islam dan militansi Islam, militerisme, dan imigrasi. Hasilnya, pada awal-awal abad ke-21, Barat akan menyaksikan kebangkitan kekuatan dan kebudayaan non-Barat dan sekaligus benturan antar-masyarakat non-Barat atau dengan Barat.
Tanpa pendefinisian yang jelas terhadap “Islam militan”, maka itu akan menyeret kaum Muslim lainnya. Itu, misalnya, menimpa Thariq Ramadhan dan Yusuf Islam, yang dilarang memasuki AS. Begitu juga ribuan warga Muslim yang menerima perlakuan tidak manusiawi. Dalam sub-bab berjudul “The Search for an Enemy”, Huntington mencatat, bahwa pasca Perang Dingin, AS memang melakukan pencarian musuh baru, yang kemudian menemukan musuh baru bernama “Islam militan”, setelah peristiwa WTC. Huntington menulis: “Some Americans came to see Islamic fundamentalist groups, or more broadly political Islam, as the enemy, epitomized in Iraq, Iran, Sudan, Libya, Afghanistan under Taliban, and to lesser degree other Muslim states, as well as in Islamic terrorist groups such as Hamas, Hezbollah, Islamic Jihad, and the al-Qaeda network… The cultural gap between Islam and America’s Christianity and Anglo-Protestanism reinforces Islam’s enemy qualifications. And on September 11, 2001, Osama bin Laden ended America’s search. The attacks on New York and Washington followed by the wars with Afghanistan and Iraq and more diffuse “war on terrorism” make militant Islam America’s first enemy of the twenty-first century.”
Di sini, tampak, bahwa sangatlah sulit dunia Islam menerima standar AS dalam soal Islam militan. Dunia Islam, misalnya, secara keseluruhan tetap menolak memasukkan Hamas di Palestina, sebagai kelompok teroris, sebab mereka melakukan perjuangan membebaskan negeri mereka dari penjajahan Israel. Buku Who Are We? memang masih merupakan kelanjutan garis berpikir Huntington dalam soal Islam dari buku The Clash of Civilizations. Sebagaimana Lewis, Huntington sudah jauh-jauh hari mengingatkan Barat agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam. Sebab, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menggoyahkan dan mengancam peradaban Barat. (Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice).
Sebagaimana buku The Clash of Civilizations, buku Who Are We? perlu dicermati dalam konteks skenario politik global terhadap Islam, yang sebenarnya merupakan satu upaya “viktimisasi Islam” untuk menutupi berbagai kesalahan kebijakan AS dan sejumlah sekutunya.
Kini, silakan dicermati, mengapa situs-situs Islam itu diblokir? Allah Maha Tahu dan Allah tak pernah tidur. (Depok, 3 April 2015).//dakta.com.
No comments:
Post a Comment