Monday, July 11, 2016

Ketika Pendidikan Tidak Penting, Sebuah Catatan Tentang Orang Antep


Assalamualaikum.

Ketika pendidikan tidak penting, apa yang penting?

Sudah kurang lebih enam tahun saya tinggal di Antep. Secara pribadi belum sepenuhnya sukses beradaptasi, terbukti dari kemampuan bahasa Turki yang merayap dan kemampuan menikmati makanan lokal yang setali tiga uang. Tapi alhamdulillah tidak terlalu bermasalah walau gesekan pasti ada.

Yang kemudian menjadi keprihatinan adalah saat suami berkata bahwa pendidikan di Antep bukan hal penting. Orang-orang di Antep bermata pencarian sebagai pedagang hingga Antep dikenal sebagai pusat industri di sebelah tenggara. (Tolong koreksi jika salah). Dan pendidikan menjadi tidak penting. Yang penting bisa berdagang.

Saya tak sepenuhnya mengamini penjelasan itu. Sampai ketika saya harus berkali-kali mengalami sendiri "kurangnya pendidikan" di Antep.

Pertama sekali yang akhirnya menjadi hal biasa buat saya dan kami, WNI umumnya, adalah orang-orang Antep yang mengira kami dari Cina, Jepang, Malaysia, Suriah, dst tanpa mau sekali saja bertanya dulu, "Kamu dari mana?"

Selanjutnya tanpa harus bersusah payah keluar rumah pun saya terdampak pula dari masalah "kurang pendidikan" ini: Tetangga sebelah atas yang berulang kali "mengganggu" ketenangan.

Soal mereka tak bisa duduk diam di rumahnya mungkin sudah tak aneh. Mereka mau teriak-teriak ketika sedang marah atau bertengkar pun ya sudahlah. Tapi saat si nyonya rumah itu nekat meletakkan karpet basah di saat saya dan tetangga di bawah kami mempunyai baju-baju yang sedang dijemur adalah diluar pemahaman saya. Air yang menetes dari karpet jatuh di pakaian-pakaian kami yang sedang dijemur. Dan itu bukan kejadian khilaf sekali dua kali. Kesabaran harus diasah berkali-kali lipat di musim panas saat orang Turki terkena eforia bersih-bersih. Membuang sampah keluar balkon padahal ada jemuran-jemuran di bawah adalah hal yang biasa buat dia. Komplen? Tentu saja sudah disampaikan dan bukan berarti dia akan langsung sadar bahwa dia salah. Hikmahnya, saya jadi pandai mengatur waktu menjemur pakaian. Tak berlama-lama meninggalkan pakaian di jemuran dan menjemur di dalam balkon dan bukan di luar balkon seperti kebanyakan orang Turki. Pengecualian untuk kain-kain yang lebar yang mau tak mau harus dijemur di luar, dengan pengawasan melekat selama proses penjemuran.

Hal lain yang makin membuat saya maklum dengan tingkat kecerdasan dan pendidikan orang-orang Antep terjadi di hari Jumat di toko swalayan yang biasa kami datangi.

Seperti biasa, sejak saya mengenal budaya membawa tas belanja sendiri, saya selalu membawanya ketika belanja, dimanapun.

Dan ketika saya memasukkan belanjaan saya yang tidak terlalu banyak, si kasir memandangi saya dan bertanya, "Ini apa?"

Saya dengan bingung menjawab, "Tas." Apa dia belum pernah melihat tas?

Lalu dia bertanya, "Ga ada plastik ya di negaramu?"

What??! Pertanyaan macam apa itu? Saya mau bawa tas belacu kek, mau bawa tas karung kek, toh tidak menyusahkan dia.

Saya tak banyak berkata-kata, hanya senyum dan bilang, "Saya tak suka plastik." Mungkin harusnya saya menambahkan, "Saya alergi plastik. Bisa gatel-gatel kalo menyentuhnya." #Lebay.

Atau mungkin saya harusnya presentasi soal bahaya plastik. Tapi saya langsung pergi, dengan gejolak di hati. Saya jadi punya rencana kembali ke toko itu bersama suami dan membawa salinan berita soal bahaya plastik untuk dia baca atau mungkin dibingkai dan dipajang di dinding kamarnya. Tak lupa, mungkin, memberitahu suami dalam bahasa Inggris, "Ini, mba-mba yang nanya soal plastik di negara saya." Dan saya benar-benar tak sabar melihat reaksinya.

Oh, manusia-manusia Antep. Segitu pendekkah cara berpikir kalian? Saya tentu tak menuduh semua orang Antep seperti itu. Kakak ipar saya juga anti sama plastik. Dia termasuk yang cerewet soal bahan-bahan alami dalam produk-produk yang biasa kami pakai.

Dan memang di Indonesia pun pasti ada juga yang seperti itu. Tapi di jaman ketika dunia berada di ujung jempol, bertanya soal plastik adalah bukti kurangnya orang itu "mendidik" dirinya sendiri. Apa iya dia kalah sama rayap yang tak sungkan makan bangku sekolahan? Menjadi "bodoh" jadinya adalah sebuah pilihan, bukan?

Lalu bagaimana dengan kita? Apa yang kita pilih?
posted from Bloggeroid

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...